My Name is Zamapah...

Aku Jerapah, leherku panjang badan ku besar. Tuhan maha adil memberikanku leher panjang, hingga aku bisa menjangkau daun-daun pohon yang tinggi. Tuhan maha adil memberikanku leher panjang hingga bisa melihat musuh yang berjinjit mengintai untuk menerkamku. Aku bisa lari kencang menghidar musuh pemangsaku. Aku jarang melihat manusia, aku takut. 

Otakku berisi pikiran abstrak berisi cara bertahan hidup semata. Setiap ada daun menari melambai, ku makan saja, terlebih daun berwarna hijau muda, itu sangat menggoda. Jadi jangan para daun muda merayu ku, kalau tidak inginku makan. Leherku panjang bukan berarti aku tidak bisa tekuk ke bawah. Aku bisa mengambil makanan yang rendah atau yang ada ditanah.

Suatu Hari ketika aku telungkup menikmati siraman matahari pagi disebuah padang sabana nan luas, aku dikejutkan dengan bunyi letusan. Aku menoleh kebelakang, beberapa manusia mengejarku. Dipinggulku ada rasa ngilu sedikit perih, jarum menusuk pinggulku.  Aku berdiri sigap mengambil ancang berlari sekuat yang aku bisa. Biasanya pelari kelas dunia bisa kukalahkan dengan mudah. Mana bisa mereka menangkapku. Aku Jerapah! Lariku kencang. 

Tapi ada yang aneh. Kenapa debar jantungku melemah, tenagaku... sepertinya menghilang tiba-tiba. Mataku berair dan berkunag-kunang. Sendi-sendi tulangku tak kuat menahan beban badanku yang berat. Aduh... ada apa ini? Aku tidak bisa berpikir lagi, kepalaku pusing. Tubuhku ambruk ke tanah. Dunia gelap, aku tidak sadarkan diri.

Setelah aku tersadar. Aku melihat disekelilingku ada tembok. Tempat apa ini? orang-orang berlalu lalang di luar tembok itu. Di depan sana ada pagar besi. 

"Hey! Jerapahnya sudah bangun" Seorang pria berteriak, cukup membuat telingaku yang panjang tersiksa karena suaranya keras. Lalu sekelompok orang datang ke arahku.

Aku berdiri, mundur membuat jarak, dibelakangku ada tembok menghalangi langkah mundurku,  Aku tersudut!

"Hello Cantik..." sapa genit seorang pria berkumis yang giginya kuning seperti tidak pernah digosok.

"Enak saja memanggilku cantik, aku jantan hoi..." balasku dalam hati saja. 

"Siapa namamu cantik?" tanya pria yang lain kepadaku, tak kalah lebih genit dari pria yang beerkumis bergigi kuning yang tadi. Manusia ini memang genit-genit, tukang rayu.

"Aduh... kalian tidak bisa membedakan mana yang jantan dan mana yang betina" umpatku dalam hati.

"Siapa namamu Cantik" tanya pria itu lagi sambil mengulurkan tangannya ke bagian bawah leherku. Awalnya aku menghindar, tapi karena tersudut, aku tidak bisa mengindar lagi, hingga tangan jahil itu kemudian mengusap membelai-belai leherku.

"Zam..." suara itu keluar saja dari mulutku.

"Zam apah? Cantik...", tanya pria usil itu lagi.

"Zamapah..." lagi-lagi suara itu keluar begitu saja dari mulutku.

"Owh... Zamafah..." pria-pria itu kemudian tertawa bersama seperti gembira. Entah kenapa mereka gembira aku tidak tahu.


Hari-hari ku lalui di tempat ini. Tempat ini sungguh sangat membosankan dan menyebalkan. Aku tak bisa lari-lari lagi kesana kemari di padang sabana. Aku tidak bisa lagi memilih-milih daun hijau menggoda. Aku sungguh sangat tersiksa, merasa terpenjara.

Aku dengar, mereka menyebut tempat ini kebun binatang. Kadang aku mendapatkan hiburan ketika ada anak-anak yang datang menghampiriku untuk melihat dan mengagumi, Aku sungguh sangat tersanjung ketika dikagumi seperti itu. Tapi kadang yang menyebalkan, mereka memberiku makanan berupa kacang, aku tidak suka kacang, karena aku suka daun hijau. Tapi mau apalagi, Akukan Jerapah yang penuh rasa syukur, segala rezeki yang diberikan tuhan kepadaku, ku terima dengan senang hati. Maka, ku makan saja kacang itu.

Suatu hari, ketika matahari telah tergelicir ke barat, aku merasakan ngantuuuk.. yang teramat sangat. aku berlari ke tempat yang agak teduh, di bahwa sebuah pohon. Aku menggelarkan badanku di tanah. Mencoba memejamkan mata.

"Hai Jerapah..." Sebuah suara merdu memanggilku. Enak ditelingaku.

Hmmm... Aku lihat diluar pagar kawat besi, seorang manusia melambai-lambaikan tangannya. Cantik. Aku terperangah. Kantukku hilang, mataku terang. Angin berhembus sepoi-sepoi. Matahari dilindungi awan. Burung-burung disana bernyanyi riang. Jantungku berdetak lebih kencang.

"Hai Jerapah..." Sapa manusia cantik itu lagi. Kali ini dia melambai-lambaikan daun muda yang dipegang ditangannya. Aku sungguh tergoda!

Aku berdiri cepat, dengan lagak pura-pura malas, menghampirinya. Aku dekatkan mulutku ke daun muda itu, membauinya. 

Hmmm..... haruuuuum. 

Lahap aku makan itu daun muda. hingga si manusia itu tertawa lepas dan gembira. Lengkap sudah kenikmatan, makan sambil ditemani oleh si cantik mempunyai suara indah. Biar aku ada ditempat ini selamanya, rela aku untuk dipenjara, asalkan yang menemaniku makan si cantik bersuara lembut ini.

"Siapa namamu cantik...?" tanya manusia cantik.

Telingaku, bergerak-gerak ngilu, masa aku masih dipanggil cantik, padahal aku kan jantan, bukan betina. Aku sangat sebel dengan panggilan itu.

"Hmmm... Cantik... siapa namamu?" tanyanya lagi seperti menahan gemes.

"Zam..." lagi-lagi, suara itu keluar saja dari mulutku seperti memberikan jawaban.

"Zam apah?", tanya si cantik itu.

"Zamapah..." seiring nafas keluar dari mulutku, aku menjawab hal yang sama "Zamapah", menyebalkan

"Owh......" gumam si cantik.

"Nama yang indah" lanjut gumam si cantik itu lembut. 

Aku tersanjung dipuji seperti itu, namaku mulai saat ini Zamapah. 

Maka, pasti si cantik suka kepadaku, kalau tidak, mengapa juga dia capek-capek tiap Hari Minggu datang ke sini. Aku menunggu dan merindukan si cantik itu datang kembali ke kandangku dan memberikanku makanan berupa daun hijau, yang tentu saja menggoda dan menggugah seleraku itu.

###

Bukittinggi, menjelang bobo



Sumber gambar : Dirahasiakan

Ralat gambar, tulisan "Semut" "Semut" pada gambar, harusnya diganti jadi "Zamapah" "Zamapah"


Komentar

POPULER POSTING

Satu Purnama Dalam Penantian

Perak Awan Malam

Bersalah

Spongebob Vs Pinokio

Kaum Tuli Melawan

Spongebob : Terdampar di Sunda Land

Ketika Bunga Tak Lagi Identik dengan Wanita

Pernikahan Dini