Rumah di Tengah Sawah
Dahulu orang tuaku seorang yang
menggeluti dunia perniagaan di Jakarta. Ibuku mengikuti suaminya untuk hidup
dijalan berdagang di Jakarta. Sebagai seorang yang memiliki darah Minang,
berdagang sangat familiar dengan kami. Biasanya untuk sukses berdagang orang
Minang pergi jauh dari kampungnya merantau untuk mencari “lahan baru” untuk
menggelar dagangannya dengan perhitungan dimana ada keramaian disana ada uang.
Namun setelah ada badai menerpa,
maka orang tuaku memutuskan untuk pulang kampung dan memulai kehidupan baru di kampung.
Ayah dan ibuku kemudian melakukan pekerjaan sebagai petani. Dengan anugrah abu
vulkanik dari Gunung Merapi, maka sektor pertanian menjadi maju di daerahku,
didukung dengan aliran kali kecil yang menyediakan air untuk pengairan
sawah-sawah. Ibuku selain bertani juga seorang pendidik dengan menjadi seorang guru
mengaji pada sore harinya. Jadi darah pedagang, darah petani dan darah pendidik
mengalir dalam pembulu darahku.
Ketika orang tuaku ke sawah, aku
sering dibawa ikut serta, menolong untuk meracau untuk kegembiraan mereka,
mungkin. Kadang aku yang tak tahan ikut main air dan lumpur turun ke sawah
untuk menanam anak padi. Anak padi yang biasanya disusun rapi oleh para petani
dengan tata letak teratur dan lurus, olehku dibikin menjadi berseni, dengan
menanam tidak lurus dan berbelok-belok seperti liukan ular saja. Aku waktu itu
tidak tahu, bahwa orang tuaku kemudian mencabuti anak padi tersebut untuk
mengaturnya kembali.
Saat yang menggembirakan adalah
ketika datang musim panen, semua orang turun ke sawah, senyum melukisi wajah
mereka, apa yang aku mengerti? Aku hanya bahagia jika semua orang bahagia, apa
yang menyebabkan mereka bahagia, aku tidak tahu!
Panen padi dimasa aku akan dibuatkan
pondok jerami dadakan. Sore harinya aka nada pesta bakar-bakar ubi jalar dengan
bahan bakar jerami yang kering itu. Atau ketika panen ubi jalar, maka aku akan
berlari ke dalam sebuah kolam yang berisi ubi jalar untuk dicuci. Bagiku kolam,
itu seperti tempat mainan, aku berenang diantara ubi jalar itu.
###
Ibuku… mempunyai seorang adik
yang bisa dikatakan sukses sebagai seorang petani. Adik ibu itu biasa aku
panggil “Om”, gaya Belanda dikit tak apalah. Om ku itu mempunyai sebuah Rumah
cantik ditengah persawahan. Kenapa aku bilang rumah cantik? Karena Rumah cantik
itu menjadi idamanku saat ini.
Rumah itu sangat jauh dari
pemukiman warga, aliran listik saja tidak sampai ke sana. Bila malam tiba, kami
diterangi oleh lampu teplok yang cukup menerangi ruangan-ruangan di rumah itu. Bila
kami akan tidur, maka lampu itu akan dikecilkan untuk penerangan secukupnya. Jadi
tidak ribut dengan tagihan biaya listrik.
Di sekitar rumah itu ada sekitar
10 batang pohon yang sengaja ditumbuhkan untuk melindungi rumah. Mungkin melindungi
dari petir yang ketika hujan sangat ganas menyambar bumi. Aku bersama sepupu-sepupuku
sering memanjati pohon itu untuk mengambil buah atau sekedar untuk
bersantai-santai.
Di belakang rumah itu ada sebuah
kolam besar yang besarnya dua kali lebih besar dari rumah. Sepupuku yang paling
dewasa sering membuat rakit untuk dikendarai kian kemari oleh aku dan
adik-adiknya. Dalam kolam itu terdapat berbagai macam aneka ikan, yang mana
jika menginginkan ikan, cukup dipancing, jadi kegiatan memancing adalah salah
satu hobi di sekitar rumah itu. Kolam itu juga menjadi tempat untuk melatih
kemampuan kami berenang. Bersama sepupu yang lain kami sering mandi-mandi yang
akan berhenti jika om sudah marah, karena kami mandi berlebihan hingga membuat
badan kami sudah pucat karena lama dalam air.
Sangat nikmat hidup disekitar rumah
ini. Sumber air tersedia cukup. Kebutuhan nasi terpenuhi dengan adanya sawah
yang melimpahkan hasil. Lauknya tinggal dipancing, atau jika mau daging bebek,
maka akan disembelihkan satu untuk jadi santapan. Oh ya… kandang bebek ada
disamping rumah. Kandangnya berdampingan dengan kandang kerbau yang berjumlah 4
ekor itu. Untuk sayur mayur, juga ada kebun kecil disamping rumah yang cukup
menyediakan kebutuhan sayur mayur.
Aku lebih suka berdiam dan
tinggal di rumah tengah sawah ini dibandingkan di rumahku sendiri. Aku lebih
suka menjadi anak sawah dimana tempat kepolosan berada. Dan orang tuaku pun
mengizinkannya. Aku sering dipeluk oleh istri om ku. Om yang sering marah ke
anak-anaknya akan tetapi tidak kepadaku, hal itu mengundang iri dan cemburu
dari sepupu-sepupuku.
Matahari pagi adalah keceriaan,
udara pagi adalah semangat. Keringat siang adalah gairah. Lembayung senja
beriringan azan magrib adalah kegembiraan.
###
“Biar cukup Uda* tanam biji-bijian, tak perlu lagi ada ambisi” ucapku disamping
seorang wanita berjilbab lebar yang sedang tertunduk dihadapanku.
“Uda pernah menyaksikan sekeluarga orang kaya yang mengungsi dari
rumahnya untuk membuat pondok kecil ditengah sebuah sawah, rumahnya yang mewah
itu ditinggali oleh anak-anaknya saja, sementara orang tuanya itu mencangkul
dan menanam apa yang bisa ditanam disekitaran pondok itu. Ah… dunia, apa yang
mereka cari?” aku berkisah dengan pengalamanku kepada wanita itu.
Dia menatapku lekat-lekat, lalu
kembali menundukan kepalanya.
“Uda mempunyai cita-cita” ucapku.
“Apa cita-cita uda?” dia memburu bertanya kepadaku.
“Uda ingin membangunkanmu rumah cantik ditengah sawah” jawabku,
wanita itu senyum tersipu menunduk.
“Rumah tempat kita berteduh,
rumah berlantai dua, lantai dasar ruangan tamu, dua kamar anak, ruangan
keluarga serta ruangan makan, kamar mandi dan dapur, lantai dua adalah kamar kita berdua” ucapku
dengan senyuman berharap untuk menatap mata wanita itu.
Wanita itu hanyut dalam buaian
imajinasinya, sesaat diam.
“Lalu?” tanyanya seperti berharap
aku meneruskan godaan yang mempermainkan imajinasinya.
“Rumah itu mempunyai sebuah
kolam, dua petak tanah, satu untuk sawah satu untuk ladang, disekitar rumah
akan kita buat kebun bunga, bukankah adiak*
tahu kalau uda suka dengan bunga?” jawabku
agak sesak, namun tetap ku tahan agar kelihatan tenang.
“Lalu?” tanyanya lagi.
Sepertinya wanita itu inginku
puaskan dahaga imajinasinya. Sambil menghirup nafas dalam, aku mencoba
mendinginkan otak mengalirkan lebih banyak oksigen ke otak agar mampu
berimajinasi lebih.
“ya … dirumah itu adiak akan menjadi ibu dari anak-anak
uda, yang akan mendidik mereka agar menjadi orang yang berakhlaq mulia”
“Pagi setelah subuh kita akan
turun ke sawah atau ke ladang, menjelang siang kita kembali kerumah untuk
aktifitas lain seperti membaca, berdiskusi, menulis, atau pergi jalan-jalan
untuk menikmati alam. Uda lebih suka
kita ke alam, dibanding berada ditengah keramaian yang membuat sesak, uda lebih suka mencium bau dedaunan atau
bau air, bagaimana dengan adiak? Bagaimana
menurut pendapat adiak?” tanyaku
berharap ada jawaban balik.
Sambil senyum mengangguk dia
menjawab “adiak suka dengan rumah
impian yang uda bayangkan itu” Aura
bahagia sepertinya terpancar dari tubuhnya yang mungil itu.
Aku tercekat mendengar jawaban
wanita itu. Tapi dihatiku berbunga-bunga seketika. Proposal sepertinya
diterima. Rumah ditengah Sawah, aku akan mewujudkan itu!
###
Kembalilah ke sawah, orang bisa
tidak punya uang, tapi tidak bisa kalau tidak makan.
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tanggapi dengan komentar terbaik anda atas tulisan ini, terimakasih.