Pernikahan Dini
Langit sore merebak,
jingga mencengkram semua yang ada di ufuk barat. Senja yang indah, tak ingin
kubuat menjadi resah. Biarlah ini menjadi keahlianku.
“Mana janjimu?” tanyaku,
lembut.
“Janji yang mana?”
“Mengajakku menikmati
warna merah daun maple.”
Dia tersenyum, menyimpan
gawainya. Berada di musim gugur adalah impian kami sejak masih berseragam
sekolah. Impian dua remaja yang meletakkan cinta di atas segala-galanya. Impian
yang menjadi bahasan ketika sedang menikmati langit yang akhirnya berlebihan.
“Buatkan dulu aku kopi!”
“Gulanya habis.”
“Kopi pahit lebih enak.”
“Kopinya juga habis.”
“Kalau begitu
tersenyumlah! Senyummu lebih nikmat.”
“Penuhi dulu janjimu!”
“Ini bukan musim gugur,
sayang. Ini saja dulu ….”
Dia menarikku
kepangkuannya. Menyihir mataku dengan manik matanya, membekukan urat syaraf
penolakan di tubuhku dengan untaian katanya. Aku terlalu cepat terlena, mungkin
karena itu juga pernikahan dini harus kami jalani.
Kalau sudah begitu, dunia
seakan tidak pernah ada cela. Keresahan hatiku meluntur, meluruhkan ratapan
nasib pahit hidup di hiruk pikuk ketiadaan materi. Sentuhan bahasa cinta yang
selembut angin semilir membuatku terlena, menikmati waktu yang berhenti ketika
hangat bibirnya membawa anganku.
Aku tidak tahu bagaimana
bisa jatuh cinta kepadanya. Dia berbeda, mampu menaklukan hatiku yang dingin
berangsur menghangat dan merasakan cinta pertama.
Lelaki pemamah kata,
pengukir aksara. Riuh kepalanya kerap melahirkan keindahan puja, denyar di hatiku
dan lolongan rindu.
Aku dibuatnya jatuh cinta
setiap hari, walaupun acap dibuatnya merutuk setiap detik. Ketika sembako
habis, karena penghasilan hanya sebatas mampir dan lalu. Terkuras kebutuhan
yang tak kunjung selesai.
Aku, selalu bisa melupakan
itu semua dengan merasakan jatuh cinta ini. Berkali-kali terjerembab indah
dalam jurang cinta yang semakin dalam. Sampai manisnya gula pun terganti dengan
senyuman, gurihnya gulai diwakili kecupan.
“Bagaimana dengan
pohon maple?” tanyaku lagi.
“Suatu hari kita akan
melihatnya.”
“Terus saja berjanji!”
“Dan aku akan menciummu
lagi, sebagai kompensasi ….” Sekali lagi kami dalam
detik yang abadi.
Tak lama tangis bayi kami
membuyarkan segalanya. Botol susunya kosong. Tak mungkin kuberi bayiku
senyuman, karena percuma saja, tak akan bisa menggantikan manisnya susu dan
kenyamanan diapersnya.
“Ada berita dengan honor
menulismu?” tanyaku. Mulai kesal, tapi harus mengeluarkan keahlianku lagi,
membuat semuanya baik-baik saja.
Dia menggeleng, tak mampu
berjanji apalagi memberi kompensasi.
Aku membuang nafas,
huhh!!
Entah kontak orang
tua siapa lagi yang akan kami hubungi.
SriSun, Cerpen fiksi
Sunda Land,

Uwoow..asik ini Yung
BalasHapusTpi belum bikin kejang keknya, Mbak hahaa
Hapuskakak ini menggambarkan pernikahan dini begitu kejam... padahal kan bagus
BalasHapusIya sihh... Awalnya saja kejam, setelah dijalani lama ternyata manfaatnya banyak, hihii
Hapuskalau boleh tahu... asyiknya gimana sich?
HapusEh, eh... Wkwkkk
BalasHapuskakak sri.. bawa donk jaringan kakak dua orang untuk gabung di group ini
BalasHapusgitu juga sama pak Ropingi, bawa donk dua orang untuk gabung di group ini
HapusDiusahain, Adik 😁
Hapus