Mata-mata : Perspektif Politik, Kekejaman dan Kekuasaan
Di masa reformasi, kewaspadaan atas perilaku kekuasaan tidak bisa dilepaskan. Seno Gumira Adjidarma telah menjadikan kejadian-kejadian itu dokumen melalui karyanya. Tentang bagaimana sastra tak bisa menghindar untuk terlibat, secara praktis maupun konkret, dalam persoalan politik, apabila politik kekuasaan itu semakin tidak manusiawi.
“Seberapa jauh pembantaian orang-orang tidak bersenjata boleh didiamkan, demi kepentingan apapun dari sebuah lembaga mana pun? Saya ingin mendengar sebuah jawaban.”
Saksi mata adalah kumpulan cerpen dari Seno Gumira Adjidarma yang mengungkapkan realitas sosial yang terjadi di masyarakat Indonesia. Lebih tepatnya persoalan politik, kekejaman, dan kepentingan penguasa.
Tujuh belas cerpen yang ada dalam antologi cerpen Seno ini secara umum mengkritik tindakan-tindakan yang terjadi di masyarakat lewat tulisannya yang tergolong surealis, namun bila diluangkan waktu untuk membacanya, pembaca tentu mendapat suatu yang bermanfaat besar.
Apalagi Seno tak segan-segan menyebut perilaku penguasa dan perbuatannya yang sesuka hati. Cerpen "Saksi Mata" misalnya, dengan gamblang ia sebutkan ciri fisik dari si tokoh yang matanya telah tak ada itu. Penyebab matanya tidak ada tak lain karna dicongkel pakai sendok oleh orang yang berpakaian seperti ninja.
Si saksi mata kehilangan matanya. Dari mata itu keluar darah yang bahkan seolah seperti air karna mengalir mulai dari membasahi pipinya, bajunya, celananya, sepatunya, dan mengenai lantai ruangan pengadilan. Darah mengalir memenuhi ruangan pengadilan bahkan sampai luber melewati pintu menurui tangga sampai ke halaman.
Tokoh saksi mata digambarkan menjadi seorang saksi yang ideal. Jujur, berani, dan apa adanya. Meskipun ia sudah kehilangan matanya ia masih mau untuk bersaksi. Alasannya cuma satu karna ingin menegakkan keadilan. Sangat mengejutkan sekali di akhir cerita Seno kembali menggambarkan ketidakadilan pada tokoh saksi mata. Setelah matanya yang dicongkel malam itu, ketika si saksi mata sedang tertidur ia bermimpi bahwa lidahnya dipotong oleh lima orang yang berseragam ninja dengan menggunakan catut.
Menilik siapa mereka yang berkelompok menggunakan seragam ninja? Tentunya mereka tak ingin diketahui identitasnya. Bisa saja mereka adalah suruhan atau orang yang tak mau kasus yang mereka lakukan terungkap. Jadi, segala cara mereka lakukan tanpa memikirkan bahwa mereka telah zalim pada si saksi mata. Hal ini seolah menjadi hal yang lumrah. Siapa yang tidak sesuai dengan yang diinginkan penguasa akan bernasib kurang lebih sama dengan si saksi mata.
Selain mata yang dicongkel, lidah yang dipotong bahkan tak sedikit yang nyawanya melayang. Toh kekuasaan bukan milik orang yang memiliki sifat seperti si saksi mata. Kekuasaan menjadi puncak tertinggi yang mesti diraih dengan cara apapun jua, walaupun membuat orang lain menderita.
Cerita yang kedua Seno menggambarkan kekejaman. Kenapa seorang wanita yang biasa senang dikirimi bunga atau dihadiahi coklat namun kali ini wanita itu senang dihadiahi telinga.
Dewi namanya, kekasihnya adalah seseorang yang selalu bergulat di medan perperangan. Ia dikirimi amplop berwarna coklat yang berisi sebuah telinga yang besar, bagus, dan belum mengering darahnya Berbeda dengan Dewi ia menerima pemberian kekasihnya itu dengan bangga.
“Kukirimkan telinga ini untukmu Dewi, sebagai kenang-kenangan dari medan perang. Ini adalah tlinga seseorang yang dicurigai sebagai mata-mata musuh. Kami memang biasa memotong telinga orang-orang yang dicurigai sebagai peringatan atas resiko yang mereka hadapi jika menyulut pemberontakan. Terimalah telinga ini hanya untukmu, kukirimkan dari jauh karna aku kangen padamu. Setiap kali mlihat telinga ini ingatlah diriku yang kesepian. Memotong telinga adalah satu-satunya hiburan."
Dewi menerima telinga itu dengan senang hati. Ia gantung pemberian kekasihnya itu di ruang tamu. Setiap pagi ia pel lantai yang terkena tetesan darah dari telinga itu. Ia senang melakukannya. Ia balas surat kekasihnya itu mengatakan bahwa telinga kiriman kekasihnya sangat dikagumi para tamu. Karena mendapat balasan bahwa Dewi senang akan hadiahnya, kekasih dewi setiap hari mengirimkan telinga pada Dewi dari medan perang. Terkadang satu, dua bahkan pernah satu kantong kresek yang mungkin lebih dari 50 telinga.
Kian hari makin banyak saja pembrontak bersuara. Dan kekasihnya tak sanggup lagi membiarkan suara-suara itu menyebar makanya ia putuskan saja untuk memenggal kepala yang dicurigai itu. Bersama surat itu ia kirimkan sebuah kepala yang telah di penggalnya untuk Dewi. Kepala yang juga tak memiliki telinga.
Seno, menggambarkan secara eksplisit bagaimana nasib-nasib orang yang tak sejalan dengan penguasa. Politik yang digunakan tak lain adalah politik kejam karna memutuskan telinga seseorang yang dicurigai bukan orang yang pasti bersalah. Miris sekali bagaimana seorang wanita yang lekat dengan sifat lembut namun lebih menyukai telinga yang berdarah-darah. Bagaimana kita lihat bahwa cinta bisa dibuktikan dengan kekejaman semacam itu. Memotong telinga dan memenggal kepala menjadi kebanggan tersendiri. Dikagumi melakukan kekejaman yang tak dapat diterima akal.
Orang-orang bukannya prihatin dengan kekejaman itu malah menganggap si pelaku menjadi pahlawan. Bagaimana nyawa seseorang dihargai hanya dengan kecurigaan. Bila dibandingkan dengan kekejaman sekarang tak jauh berbeda bila dulu mengorbankan telinga orang lain adalah kebanggaan kini mengambil harta orang lain sehingga perlahan menyiksa bukankah berkuasa menjadi alasan untuk menyiksa.
Cerita ketiga dari 17 kumpulan cerpen ini yang juga mengulik kekejaman penguasa dengan politik tak berhati adalah tentang Salvador. Mayat Salvador diseret seekor kuda. “Pengumuan! Pengumuman! Inilah mayat Salvador, seorang pencuri ayam! Ia telah dihukum tembak sampai mati, dan mayatnya akan digantung di gerbang kota, sebagai peringatan bagi mereka yang berani membangkang!”
Sebenarnya kumpulan cerpen saksi mata adalah kritik mengenai penguasa yang semena-mena terhadap kaum lemah. Politik demi politik busuk bergulir seperti halnya air. Mereka yang lemah akan tetap saja menjadi korban ketidak adilan.
Seno telah menyajikan secara luar biasa kebusukan politik penguasa, cerita yang membuat pembaca tersulut emosinya juga kekejaman yang direkam melalui kata-kata. Adalah sebuah kepedulian yang layaknya kita apresiasi dan menjadikan pelajaran untuk bekal berjuang di medan penguasa. supaya matamu tidak dicongkel, lidahmu tak dipotong, telingamu tidak dipotong, kepalamu tidak dipenggal dan mayatmu tidak digantung.
Padang,
Laila Marni, 21 Agustus 2019
Laila Marni, 21 Agustus 2019

Bernas...
BalasHapuspada cerita pertama bagaimana dengan variabel wanita dengan penguasa?
Aku terkesima. Ini indah. Sungguh. Terimakasih telah menyajikan tulisan indah ini
BalasHapusWaw... bisa-bisa tulisan ini jadi terpopuler donk... Grafiknya naik terus...
BalasHapusYo baguslah, emang keren kok
Hapus