Salah Kaprah tentang Media Pembelajaran
"Anak-anak, peraturan sekolah melarang kalian menggunakan gawai. Jangan coba-coba membawa barang itu ke sekolah. Pasti akan disita. Dari pada harus membeli baru, lebih baik disimpan saja di rumah," nasihat bu Guru ketika di depan kelas.
Yang tersebut di atas adalah sepenggal pengumuman yang sering disampaikan oleh guru ketika berada di muka kelas. Apa yang salah?
Zaman sekarang identik dengan zaman digital, artinya jika memungkinkan semua diaplikasikan dalam bentuk digital. Mulai dari administrasi pembelajaran hingga media pembejalaran.
Sebagian besar sekolah masih terpaku dengan perangkat pembelajaran print out. Kebijakan sekolah yang mengharuskan. Dengan alasan Dinas Pendidikan/Departemen Agama yang meminta. Laporan harus print out. More paper adalah administrasi jaman pra millenial. Sudah ketinggalan zaman. Tetap dipertahankan. Mungkin karena ketidaktahuan atau kesengajakan untuk merepotkan.
Demikian juga, siswa terbungkuk-bungkuk membawa buku tebal ke sekolah. Satu mata pelajaran barangkali lebih dari satu buku referensi. Bisa dibayangkan, berapa buku setiap hari yang melekat di punggung. Padahal dengan satu gawai kecil, semua buku pelajaran dapat tersimpan. Semua konten pembelajaran terbuka bahkan lebih cepat dari membalik buku.
Dominasi kebiasaan guru yang dipaksa melangkah mundur berimbas pada siswa. Akibatnya, gawai jadi barang terlarang di sekolah. Pertanyaannya, apakah gawai merupakan media pembelajaran?
Terlepas dari definisi verbal yang diberikan, pada kesempatan ini kami mencoba selidik fakta bahwa dalam gawai lengkap tersedia apa pun yang diperlukan siswa.
Ketika paradigma media pembelajaran tradisional, maka gawai tidak termasuk dalam kelompok media pembelajaran. Contoh sederhana; ketika pada materi pelajaran matematika, diterangkan tentang Grafik Aljabar, media yang digunakan barangkali adalah berupa caption, lembar grafik kartesius, buka pelajaran, dan sejenisnya yang oleh sebagian guru disebut alat peraga pembelajaran.
Bayangkan jika ada aplikasi geogebra dalam genggaman siswa, tanpa harus repot menggambar, repot membawa penggaris, pensil dan lainnya dapat dengan mudah melakukan pemahaman dan penelitian tentang Grafik Aljabar berikut perubahan grafiknya secara simultan untuk berbagai kondisi.
Demikian juga pada mata pelajaran lain, pada pengenalan peta tidak perlu membuka buku usang yang tingkat akurasinya masih dipertanyakan. Melalui google map, jelas terlihat kondisi riil seperti apa bentuk peta sebenarnya. Hingga bangun yang ada. Akhirnya siswa berada dalam kondisi nyata ketika melakukan penagatan peta.
Masih banyak contoh lain yang dapat dijelaskan, hanya melalui gawai yang jadi barang terlarang oleh sekolah. Dengan alasan banyak konten terlarang, game yang memabukkan dan sebagainya. Nyatanya sebagian besar siswa habis waktunya di depan gawai.
Jadi bagaimana pun, mau tidak mau sekolah dan guru harus mengalah. Keterikatan siswa dengan gawai memang tidak mungkin dipisahkan. Oleh karena itu perlu kesadaran secara menyeluruh dari komponen pendidikan yang ada. Termasuk di dalamnya steak holder di sekolah bahu membahu melalukan sosialisasi kepada semua orang yang terkait dengan pendidikan.
Kesimpulan, media pembelajaran bukan tenrang konten apa yang layak digunakan. Tetapi lebih kepada, apa manfaat yang dapat dipetik langsung oleh siswa dalam rangka mempermudah proses pemahaman dan penalaran materi yang sedang dipelajari. Guru harus menyesuaikan diri.
Penulis : Ropingi
Penulis : Ropingi

Komentar
Posting Komentar
Silahkan tanggapi dengan komentar terbaik anda atas tulisan ini, terimakasih.